Adab Pernikahan (Sesuai Sunnah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam)
Menikah hukumnya adalah Sunnah. Karena Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Menikah itu adalah sunnah ku. Akan tetapi apabila kalian enggan untuk menikah, maka kalian bukan dari golonganku.”. Dan dalam hadits yang lain, Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang membenci sunnah ku, maka ia bukan termasuk dalam golonganku.”
Menikah mempunyai banyak manfaat, diantaranya untuk menghindarkan manusia dari perbuatan zina. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Wahai
generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga
hendaknya ia menikah, karena ia (menikah) dapat menundukkan pandangan
dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu (menikah) hendaknya ia
berpuasa, sebab ia (puasa) dapat mengendalikan (hawa nafsu) mu.”
Indahnya pernikahan, apabila dilakukan sesuai sunnah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam. Berikut ini ringkasan dari kitab Adab Zifaf (Etika Pernikahan), karya Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani, yaitu :
1. Hendaklah dua sejoli yang
akan merajut tali suci pernikahan untuk meniatkan pernikahan yang ia
lakukan adalah untuk mencari ridha Allah , untuk membersihkan jiwanya
dan menjaga dirinya dari segala yang diharamkan Allah. Karena dengan
begitu, pergaulan antar keduanya dicatat sebagai amal ibadah di hadapan
Allah.
2. Saat pertama kali akan melakukan
hubungan suami istri, hendaknya suami meletakkan tangannya pada kepala
istrinya, seraya membaca basmalah dan doa untuk keberkahan, yaitu
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْها، وَبَارِكْ لَهَا فِيَّ (Ya Allah
berkahilah dia untukku, dan berkahilah aku untuknya), dan doa berikut
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
(Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah sungguh aku mohon pada-Mu kebaikan
wanita ini, dan kebaikan tabiatnya. Dan aku memohon perlindungan-Mu
dari keburukannya dan keburukan tabiatnya)
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jika
kalian telah menikahi wanita atau membeli budak, maka peganglah bagian
depan kepalanya, ucapkanlah basmalah, berdoalah untuk keberkahannya, dan
hendaklah ia mengucapkan… (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah sungguh
aku mohon pada-Mu kebaikan wanita ini, dan kebaikan tabiatnya. Dan aku
memohon perlindungan-Mu dari keburukannya dan keburukan tabiatnya)”.
3. Shalat Sunnah dua raka’at
bersama. Shalat sunnah ini dilakukan ketika akan melakukan hubungan
suami istri untuk pertama kali. Kemudian berdo’a,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْ أَهْلِيْ، وَبَارِكْ ِلأَهْلِيْ فِيَّ، اللَّهُمَّ ارْزُقْهُمْ مِنِّيْ، وَارْزُقْنِيْ مِنْهُمْ
اللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ فِيْ خَيْرٍ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ فِيْ خَيْرٍ
(Ya Allah, berilah aku berkah dari istriku, (begitu pula sebaliknya)
berilah istriku berkah dariku. Ya Allah, berilah mereka rizki dariku,
(begitu pula sebaliknya) berilah aku rizki dari mereka. Ya Allah,
kumpulkanlah kami jika itu baik bagi kami, dan pisahkanlah kami jika itu
baik bagi kami).
Syaqiq bin Salamah mengatakan, “Suatu hari datang lelaki, namanya Abu Huraiz, ia mengatakan: “Aku telah menikahi wanita muda dan perawan, tapi aku khawatir ia akan membuatku cekcok”, maka Abdullah bin Mas’ud r.a mengatakan, “Sesungguhnya
kerukunan itu dari Allah, sedang percekcokan itu dari setan, ia (setan)
ingin membuatmu benci dengan apa yang Allah halalkan bagimu. Jika kamu
nanti menemuinya, maka suruh istrimu shalat dua rokaat dibelakangmu dan
bacalah (Ya Allah, berilah aku berkah dari istriku, (begitu
pula sebaliknya) berilah istriku berkah dariku. Ya Allah, berilah mereka
rizki dariku, (begitu pula sebaliknya) berilah aku rizki dari mereka.
Ya Allah, kumpulkanlah kami jika itu baik bagi kami, dan pisahkanlah
kami jika itu baik bagi kami)“.
4. Bermesraan dengan istri, sebelum berhubungan suami istri, misalnya dengan menyuguhkan minuman, atau yang lainnya.
5. Hendaklah (suami) berdo’a ketika menggauli istri. Do’a nya adalah,
بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
(Dengan nama Allah. Ya Alloh jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari anak yang engkau karuniakan pada kami).
Rasulullah bersabda, “(Dengan nama Allah. Ya Alloh jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari anak yang engkau karuniakan pada kami). Do’a itu, apabila Allah berkehendak memberikan anak, niscaya setan tidak akan mampu membahayakan anak (itu) selamanya”.
6. Suami boleh menggauli istrinya
di vagina sang istri, dari arah manapun si suami sukai, baik dari depan
atau belakang. Sebagaimana firman Allah SWT, “Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian itu dari mana saja kalian kehendaki” (QS. Al- Baqarah : 223)
7. Haram hukumnya bagi suami
apabila (suami) menggauli istrinya di dubur istrinya. Hal itu merupakan
dosa besar. Karena Rasulullah bersabda, “Terlaknat orang (suami) yang menggauli para wanita (yaitu istrinya) di dubur nya (yakni lubang anus)”. Syaikh Masyhur mengatakan, “Adapun
orang yang menggauli istrinya di duburnya, maka ia telah melakukan
tindakan yang melanggar syariat, baik asalnya maupun sifatnya, sehingga
ia wajib bertaubat kepada Allah , dan tidak ada kaffarat (tebusan)
baginya kecuali bertaubat kepada Allah “.
8. Berwudhu antara dua sesi berhubungan, dan lebih afdholnya mandi. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jika
salah seorang dari kalian selesai menggauli istrinya, dan ingin
menambah (melakukannya) lagi, maka hendaklah ia wudhu, karena itu lebih
menggiatkannya untuk melakukannya lagi”.
Mandi lebih afdhol, karena hadits riwayat Abu Rofi’ , “Suatu hari Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam
keliling mendatangi istri-istrinya, beliau mandi di istrinya yang ini,
dan mandi lagi di istrinya yang ini. Lalu aku menanyakan hal itu kepada
beliau Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak mandi sekali saja?”. Beliau Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Karena (mandi berkali-kali) itu, lebih bersih, lebih baik, dan lebih suci”. (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, sanadnya hasan).
9. Suami istri diperbolehkan mandi
bersama dalam satu tempat, meski saling melihat aurat masing-masing. Ada
banyak hadits yang menerangkan hal ini, diantaranya,
Aisyah r.a mengatakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dari
satu tempat air, tangan kami saling berebut, dan beliau mendahuluiku,
hingga aku mengatakan, “Biarkan itu untukku, biarkan itu untukku”,
ketika itu kami berdua sedang junub.” .
10. Usai berhubungan, hendaklah
berwudhu sebelum tidur, dan lebih afdholnya mandi. Karena hadits riwayat
Abdulloah bin Qais , ia mengatakan: Aku pernah menanyakan kepada Aisyah
, “Bagaimana Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam dahulu ketika junub, apakah mandi sebelum tidur, atau sebaliknya tidur sebelum mandi?”. Ia (Aisyah) menjawab, “Semuanya pernah beliau lakukan, kadang beliau mandi lalu tidur, dan kadang beliau wudhu lalu tidur”. Aku menambahi, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan perkara ini mudah”.
11. Jika istri sedang haid, suami tetap boleh melakukan apa saja dengannya, kecuali jima’. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam, “Lakukan apa saja (dengan istri kalian) kecuali jima’.”
Kaffarat (tebusan) bagi orang yang
menjima’ istrinya ketika istrinya sedang haid, sebagaimana diterangkan
dalam hadits riwayat Ibnu Abbas , Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang suami yang mendatangi istrinya ketika haid, maka Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Hendaklah ia bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar”. Syaikh Masyhur mengatakan, “Yang
dimaksud dengan dinar dalam hadits itu adalah dinar emas, dan 1 dinar
emas itu sama dengan 1 mitsqol, sedang 1 mitsqol itu sama dengan 4 ,24
gram emas murni”.
12. ‘Azl (mengeluarkan sperma di luar vagina) diperbolehkan, meski lebih baik ditinggalkan.
Karena perkataan Jabir, “Dulu kami (para sahabat) melakukan ‘azl, di saat Alqur’an masih turun”. Dalam riwayat lain, “Kami (para sahabat) dulu melakukan ‘azl di masa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam
(masih hidup), lalu kabar itu sampai kepada beliau Nabi Muhammad ,
akan tetapi beliau Nabi Muhammad tidak melarang kami (melakukan
‘azl)”.
Namun, lebih baik meninggalkannya sebagaimana sabda Rasulullah , “Azl itu pembunuhan yang samar”.
13. Setelah malam pertama menggauli
istrinya, disunnahkan pada pagi harinya untuk silaturrahim mengunjungi
para kerabatnya yang sebelumnya telah datang ke rumahnya, mengucapkan
salam kepada mereka, mendoakan mereka, dan membalas kebaikan mereka
dengan yang semestinya.
Sebagaimana diterangkan dalam hadits riwayat Anas r.a, ia mengatakan, “Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pernah mengadakan walimah (resepsi) saat malam pertama beliau menggauli Zainab. Beliau Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam
mengenyangkan kaum muslimin dengan roti dan daging, lalu keluar
mengunjungi para ibunda mukminin (isteri-isteri beliau yang lain), untuk
mengucapkan salam dan mendoakan mereka, sebaliknya mereka juga
memberikan salam dan mendoakan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau melakukan hal itu, pada pagi hari setelah malam pertamanya”. (HR. Bukhari).
14. Keduanya (suami dan istri) wajib
menggunakan kamar mandi yang ada di rumahnya, dan tidak boleh masuk
kamar mandi umum, berdasarkan hadits Jabir r.a, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan memasukkan istrinya ke dalam kamar mandi umum”. (HR. Tirmidzi, sanadnya hasan).
Juga hadits riwayat Ummu Darda’, ia mengatakan, “Suatu hari, aku keluar dari kamar mandi umum, lalu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam berpapasan denganku, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya, “Wahai Ummu Darda’, dari mana?”. Ummu Darda’ menjawab, “Dari kamar mandi umum”. Maka beliau Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh,
demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang wanita
menanggalkan pakaiannya di selain rumah salah satu ibunya, melainkan ia
telah merusak tabir yang ada antara dia dan Tuhannya Yang Maha
Penyayang”. (HR. Ahmad).
15. Kedua (suami dan istri) diharamkan menyebarkan rahasia kehidupan ranjangnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam ,
“Sungguh, orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari
kiamat nanti, adalah orang yang membuka (aurat) istrinya dan istrinya
membuka (aurat)nya, lalu ia menyebarkannya”. Imam Nawawi mengatakan, “Hadits
ini menunjukkan haramnya menyebarkan cerita hubungan suami istri, dan
merinci apa yang terjadi pada istrinya, seperti ucapan, perbuatan dan
semisalnya.”
Adapun sekedar menyebutkan jima’
(secara global) tanpa ada manfaat dan tujuan, maka hukumnya makruh,
karena itu tidak sesuai dengan muru’ah (akhlaq), padahal Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang baik atau (jika tidak), maka hendaklah ia diam”.
Tapi jika ia menyebutkan hal itu,
karena adanya tujuan dan manfaat, seperti mengingkari ketidak-sukaannya
pada istrinya, atau istrinya menuduh suaminya impoten, atau semisalnya,
maka itu tidak makruh, sebagaimana sabda Rasulullah, “Sungguh aku akan melakukannya, aku dan istriku ini” . Begitu pula pertanyaan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Abu Tholhah, “Apa malam tadi, kalian telah menjalani malam pertama?” . Dan pesan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Jabir , “Semangat dan semangatlah”.
16. Mengadakan walimah (resepsi)
wajib hukumnya setelah menjima’ istri, dengan dasar hadits Buraidah bin
Hushoib r.a, bahwa ketika Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah Az-Zahra,
Rasulullah mengatakan, “Pernikahan itu harus ada walimahnya (resepsi)”. Juga sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Abdurrahman bin Auf, “Adakanlah walimah, walau hanya dengan (menyembelih) seekor kambing”.
Beberapa sunnah (tuntunan) dalam walimah (resepsi), diantaranya:
Ø Diadakan selama tiga hari, setelah menjima’ istri. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Anas, ia mengatakan, “Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam
dulu menikahi Shofiyah r.a, beliau menjadikan anugerah kemerdekaannya
sebagai maharnya, dan menjadikan walimah (resepsi) berlangsung tiga
hari”.
Ø Mengundang para sholihin (orang-orang shalih), baik yang kaya maupun yang miskin. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam, “Janganlah berteman kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah menyantap makananmu kecuali orang yang bertakwa”.
Ø Menyembelih lebih dari satu kambing jika mampu.
Ø Dianjurkan dalam pengadaan walimah, orang yang mempunyai harta lebih untuk membantu orang yang kurang mampu.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Anas, yang menceritakan kisah menikahnya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam dengan Shofiyah Anas r.a berkata, “…Hingga ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam di tengah perjalanan pulang, Ummu Sulaim mempersiapkan Shofiyah dan menyerahkannya kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pada malamnya, hingga paginya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam berstatus arus (pengantin baru). Lalu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa mempunyai sesuatu, maka hendaklah ia bawa kemari” . Dalam riwayat lain, “Barangsiapa punya makanan lebih, maka hendaklah dia mendatangkannya kepada kami”. Anas berkata, “Beliau
pun menggelar karpet kulitnya, maka mulailah ada orang yang datang
dengan keju, ada yang datang dengan kurma, ada juga yang datang dengan
lemak, hingga bisa mereka jadikan hais. Kemudian mereka memakannya dan
meminum air dari tadahan hujan yang ada di dekat mereka. Begitulah pelaksanaan walimahnya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ø Tidak boleh hanya mengundang orang yang kaya, dan tidak menyertakan orang yang miskin.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam, “Seburuk-buruk
makanan adalah hidangan walimah yang hanya diperuntukkan bagi
orang-orang kaya, sedang orang-orang miskin dilarang untuk
mendatanginya” .
Ø Wajib bagi yang diundang untuk menghadirinya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jika salah seorang dari kalian diundang walimah, maka hendaklah ia menghadirinya”. Juga sabda beliau Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jika salah seorang dari kalian diundang, maka hendaklah ia menghadirinya, baik itu acara walimah atau pun acara lainnya”. Juga sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam yang lainnya, “Barangsiapa tidak menghadiri udangan, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Jika orang yang diundang sedang tidak
berpuasa, maka hendaklah orang itu memakan hidangan yang ada. Sedang
jika orang itu sedang berpuasa, maka hendaklah ia tetap hadir dan
mendoakan yang mengundangnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jika yang diundang itu tidak puasa, maka makanlah (hidangan yang ada) Sedang jika ia puasa, maka berdoalah untuknya”
Jika yang diundang sedang puasa sunnah, ia boleh membatalkan puasanya
untuk makan hidangan walimah, sebagaimana diceritakan oleh Abu Sa’id
Al-Khudri, “Aku pernah membuatkan hidangan untuk Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam
dan para sahabatnya mendatangi undanganku. Ketika hidangan disajikan,
ada salah seorang berkata, “Aku sedang berpuasa”. Maka Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan, “Saudara kalian ini telah mengundang dan mengeluarkan biaya untuk kalian”, lalu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan pada sahabat yang sedang berpuasa itu, “Batalkanlah puasamu, dan qodho’lah di hari lain jika kau menghendakinya”.
Ø Tidak boleh menghadiri undangan walimah, jika ada kemaksiatan dalam acara walimah tersebut,
kecuali bila menghadirinya dengan maksud mengingkarinya dan berusaha
menghilangkan kemaksiatan itu. Akan tetapi, apabila kemaksiatan itu
tidak bisa hilang, maka orang yang diundang itu harus pulang
meninggalkan acara walimah itu.
Sebagaimana kisah sahabat Ali berikut, “Aku pernah membuat makanan, lalu aku mengundang Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam dan beliau pun datang. Tetapi, ketika melihat ada gambar- gambar di rumah, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam
langsung kembali. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, bapak dan ibuku ku
relakan untuk menebusmu apa yang membuatmu pulang lagi?”. Rasulullah
menjawab, “Karena di rumah itu, ada banyak gambar, padahal para malaikat
tidak sudi masuk rumah yang ada gambar-gambarnya”.
17. Untuk orang yang diundang disunnahkan melakukan dua hal :
Ø Mendoakan orang yang mengadakan walimah.
Sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Busr, bahwa bapaknya pernah membuatkan makanan untuk Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengundangnya, maka beliau pun datang. Selesai makan, beliau mendoakan,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مَا رَزَقْتَهُمْ وَاغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ
(Ya Allah, berkahilah rizki yang kau berikan pada mereka, serta ampuni dan rahmatilah mereka).
Ø Mendoakan kedua mempelai dengan kebaikan dan keberkahan.
Ada banyak hadits yang menerangkan hal ini, diantaranya,
Doa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Jabir r.a,
بَارَكَ اللهُ لَكَ
(semoga Alloh memberkahimu), atau mengatakan kepadanya,
خَيْرًا
(semoga engkau diberi limpahan kebaikan).
Doa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Ali r.a,
اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِمَا, وَبَارِكْ لَهُمَا فِيْ بِنَائِهِمَا
(Ya Alloh, berkahilah keduanya, dan berkahilah hubungan keduanya).
Doa kaum wanita Anshar kepada Aisyah,
عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ, وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ
(selamat atas kebaikan, keberkahan, dan keberuntungan yang besar.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam jika mendoakan orang yang menikah mengatakan,
بَارَكَ اللهُ لَكَ, وَبَارَكَ عَلَيْكَ, وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ
(semoga Alloh memberikan keberkahan padamu, menurunkannya atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan).
18. Pengantin wanita boleh melayani tamu laki- laki, jika tidak menimbulkan fitnah dan mengenakan hijab syar’i.
Sebagaimana hadits Sahl bin Sa’d, ia mengatakan, “Ketika Abu Usaid telah mengumpuli istrinya, ia mengundang Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam
dan para sahabatnya, maka tidak ada yang membuat dan menyodorkan
hidangan, melainkan istrinya, yaitu Ummu Usaid. Pada hari itu, istrinya
lah yang melayani tamu laki- laki.
19. Boleh juga mengijinkan para
wanita untuk mengumumkan pernikahan dengan menabuh duff (rebana) saja,
dan melantunkan nyanyian yang dibolehkan (asal baitnya tidak bercerita
kecantikan, kata-kata kotor, kemaksiatan dan yang tidak diridhai Allah).
Rubayyi’ binti Mu’awwidz mengatakan, Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menemuiku di pagi hari malam pertamaku, lalu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam
duduk di atas ranjangku seperti posisimu denganku (sekarang ini), di
saat itu ada banyak anak kecil wanita menabuh duff (rebana), mengenang
bapak-bapak mereka yang gugur di perang badr, hingga salah seorang anak
wanita itu ada yang mengatakan: “Di sisi kita ada Nabi yang tahu hari
esok”. Maka Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam menegur wanita itu, “Jangan berkata seperti itu, tapi katakanlah apa yang kau ucapkan sebelumnya”.
20. Hendaklah meninggalkan hal yang dilarang syariat , terutama ketika acara pernikahan, misalnya:
Ø Memajang gambar makhluk yang bernyawa di dinding.
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh, rumah yang ada gambarnya tidak dimasuki para malaikat “.
Aisyah mengatakan, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam
pernah masuk menemuiku, saat itu aku menutupi lemari kecil dengan kain
tipis yang bergambar, (dalam riwayat lain, “yang bergambar kuda
bersayap”). Melihat itu, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam langsung merobeknya, dan berubah raut wajahnya. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan, “Sesungguhnya orang yang paling pedih adzabnya di hari kiamat adalah, mereka yang menyaingi ciptaan Allah” . Aisyah mengatakan, Akhirnya kain itu ku potong dan kujadikan satu atau dua bantal.”
Syaikh Muhammad Nasirudin al-Albani berpendapat, “haram menutup
dinding rumah dengan kain, meski bukan dengan sutra, karena itu termasuk
isrof dan hiasan yang tidak sesuai syariat.”
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita untuk menutupi batu dan tanah”.
Imam Nawawi mengatakan, “Para ulama
memakai hadits itu sebagai dalil larangan menutup dinding dan lantai
dengan kain, larangan itu adalah karohah tanzih, bukan larangan yang
mengharamkan, dan inilah pendapat yang benar.”
Syaikh Abul Fath Nashr Al-Maqdisi (madzhab syafi’i) berpendapat,
“haramnya hal itu. Tapi, dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan
keharamannya, karena hakekat lafalnya, “Allah tidak menyuruh kita
melakukan itu”, ini berarti bahwa hal itu tidak wajib dan tidak sunnah,
dan tidak menunjukkan pengharaman sesuatu”.
Ø Mencabut alis dan lainnya.
Karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam melaknat orang yang berbuat demikian (mencabut alis dan lainnya).
Ø Mewarnai kuku dengan cat (sehingga menutupi jalannya air wudhu).
Adapun sunnahnya adalah mewarnainya dengan hinna’.
Ø Memanjangkan kuku.
Karena memanjangkan kuku bertentangan dengan fitrah. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Lima hal (yang) termasuk fitrah: “Khitan, mengerik bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak”. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam juga melarang kita membiarkan kuku lebih dari 40 malam, sebagaimana perkataan Anas bin Malik r.a, “Kami
diberi batasan waktu untuk: Mencukur kumis, memotong kuku, mencabuti
bulu ketiak, dan mengerik bulu sekitar kemaluan, (yakni) agar kami tak
membiarkannya lebih dari 40 malam”.
Ø Mencukur jenggot.
Karena memelihara jenggot itu wajib hukumnya bukan sunnah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam,
“cukur-tipislah kumis dan panjangkanlah jenggot, selisilah kaum
majusi”. Jadi, orang yang dengan sengaja enggan untuk memelihara
jenggot, maka ia adalah kaum Majusi.
Ø Mempelai pria mengenakan cincin tunangan dari emas.
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Pakaian sutra dan emas diharamkan untuk ummatku yang laki-laki, dan dihalalkan untuk mereka yang wanita.”
21. Wajib hukumnya memperlakukan istri
dengan baik, dan menuntunnya kepada hal-hal yang halal dan diridhai
Allah, khususnya bila istrinya masih muda.
Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sebaik-baik
kalian, adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang
yang paling baik diantara kalian terhadap istriku”. Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda
, “Berilah nasehat baik pada wanita (istri), karena mereka itu tawananmu”. Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda,
“Janganlah lelaki mukmin membenci wanita mukminah (istrinya), karena jika dia benci salah satu tabiatnya, pasti ada hal lain yang ia sukai”.
Aisyah r.a mengisahkan, “Suatu hari Rasulullah pulang dari perang tabuk
atau perang khaibar. (Saat itu) lemari kecil Aisyah tertutup tirai,
lalu berhembuslah angin, yang menyingkap tirai itu, sehingga terlihatlah
banyak mainan boneka wanita milik Aisyah r.a. Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya,
“Apa ini, wahai Aisyah?”,
ia menjawab, “Anak-anak perempuanku”. Diantara mainannya itu beliau
juga melihat ada boneka kuda bersayap dua yang terbuat dari kain, lalu
Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan,
“Kalau yang di tengah ini apa?”, Aisyah menjawab: “itu kuda”. Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam menimpali,
“terus apa yang di atasnya?”, Aisyah menjawab, “dua sayapnya”, Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan,
“kuda mempunyai dua sayap?”, Aisyah menjawab, “bukankah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman memiliki kuda bersayap?!”. (Mendengar itu) Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallamlangsung tersenyum hingga kulihat gigi-gigi gerahamnya.
22. Sebaiknya suami membantu pekerjaan rumah, bila ada waktu senggang dan tidak sedang lelah. Sebagaimana disebutkan ‘Aisyah, “Dahulu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam biasa membantu istrinya, dan beliau pergi untuk sholat bila tiba waktunya”. Aisyah juga mengatakan, “Beliau itu manusia seperti yang lainnya, mencuci pakaiannya, memerah kambingnya, dan membantu istrinya”.
23. Pesan untuk kedua mempelai,
Ø Hendaklah keduanya ta’at kepada Allah dan saling mengingatkan untuk ta’at.
Ø Hendaklah keduanya menjalankan
syariat Allah yang terdapat di dalam Qur’an dan Sunnah, dan tidak
meninggalkannya hanya karena taklid, atau adat masyarakat, atau madzhab
tertentu, Allah berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا
مُبِينًا
Dan tidaklah pantas bagi mukmin dan
mukminah, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu hukum
dalam urusan mereka, untuk memilih (pilihan lainnya), karena barangsiapa
mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, sungguh ia telah tersesat dengan
kesesatan yang nyata. (Al-Ahzab: 36).
Ø Hendaklah keduanya menjaga hak dan
kewajiban masing- masing. Maka janganlah istri banyak menuntut suaminya.
Sebaliknya, janganlah suami memanfaatkan harta dan posisinya sebagai
kepala rumah tangga, untuk menzholimi istrinya, seperti memukulnya tanpa
ada sebab yang syar’i. Allah SWT berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Para istri itu memiliki hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut, dan para suami itu
memiliki kelebihan di atas mereka. Dan Allah adalah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (Al-Baqoroh: 228)
Mu’awiyah bin Haidah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak istri atas suaminya?” Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Yaitu,
memberinya makan dan sandang jika memintanya, tidak mengatakan
‘Qobbahakilloh’ (semoga Alloh menjadikanmu buruk) (kepada istrinya),
tidak memukul wajahnya, (tidak mendiamkannya kecuali di dalam
rumahnya)”.
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda, “Orang
yang adil akan menduduki singgasana dari cahaya diatas tangan kanan
Allah Yang Maha Penyayang, dan kedua tangan- Nya itu kanan, yaitu mereka
yang adil dalam mengatur kekuasaannya, keluarganya, dan tanggung jawab
yang (di) serahkan padanya.”
Bila keduanya (suami dan istri) tahu akan hal ini dan menerapkannya dengan baik, niscaya Allah
akan menjadikan hidup keduanya baik, tentram, bahagia. Allah berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa melakukan kebajikan
dalam keimanan, baik laki-laki maupun perempuan, pasti Kami berikan
padanya kehidupan yang baik, dan Kami pasti membalas mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl: 97)
Sabda Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam khusus untuk sang istri, “Bila
perempuan mendirikan sholatnya, menjaga kehormatannya, dan mentaati
suaminya, ia pasti masuk surga dari pintu manapun ia kehendaki.”
Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya, “Siapa wanita yang paling baik?”, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Yaitu
wanita yang menyenangkan bila suaminya memandangnya, mentaati bila
diperintah, dan ia tidak menyelisihi suaminya karena sesuatu yang
dibencinya, baik dengan diri maupun hartanya”
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallambersabda, “Seluruh dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik- baik perhiasan adalah wanita yang sholihah”.
Dari Hushain bin Mihshon, bahwa bibinya pernah menemui Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam karena suatu keperluan. Setelah (keperluan itu) selesai, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya, “Apa anda bersuami?”. “Ya”, jawabku. “Bagaimana sikapmu terhadapnya?” tanya RasulullahShallahu ‘Alaihi Wasallam. “Aku bersungguh-sungguh di dalam (menaati dan melayani) nya, kecuali pada hal yang tidak ku mampui”, jawabku. Maka Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Lihatlah bagaimana hubunganmu dengannya. Karena suamimu itu surga dan nerakamu”.
Ø “Janganlah istri berpuasa selain
Puasa Ramadhan saat suaminya bersamanya, kecuali dengan izinnya
(suaminy). Dan janganlah istri mengijinkan orang lain masuk rumah saat
suaminya bersamanya, kecuali dengan izinnya (suaminya).”
“Jika suami mengajak istrinya ke ranjang, tapi ia tidak menurutinya
hingga suaminya marah, maka para malaikat melaknatnya hingga pagi tiba “ (dalam riwayat lain, “hingga ia kembali (menurutinya)” ).
(dalam riwayat lain, “hingga si suami merelakannya”).
“Seandainya aku boleh menyuruh
seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku sudah menyuruh istri
untuk sujud kepada suaminya.”
“Dan seorang istri tidak akan
memenuhi hak Allah atasnya dengan sempurna, hingga ia memenuhi hak
suaminya dengan sempurna, hingga seandainya si suami meminta dirinya
saat di pelana, maka ia tidak (boleh) menolak ajakannya.”
“Tidaklah seorang istri menyakiti
suaminya ketika di dunia, kecuali istrinya dari kalangan bidadari (di
surga) mengatakan padanya, “Janganlah engkau menyakitinya,
qootalakillah, karena suamimu itu sebenarnya tamu, yang sebentar lagi
meninggalkanmu untuk menemui kami”.
http://muslimminang.wordpress.com/2012/06/04/adab-pernikahan-sesuai-sunnah-rasulullah-shallahu-alaihi-wasallam/