Sejarah Ke Khalifahan Islam
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai
penggantinya sebelum kematiannya, dan untungnya, komunitas muslim
menerima hal ini. Pengganti Umar, Utsman bin Affan, dipilih oleh dewan
perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian, Utsman dianggap memimpin
seperti seorang "raja" dibandingkan sebagai seorang pemimpin yang
dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya terbunuh oleh seseorang dari
kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat oleh sebagian besar
muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah, tetapi ia tidak
diterima oleh beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi beberapa
pemberontakan dan akhirnya terbunuh setelah memimpin selama lima tahun.
Periode ini disebut sebagai "Fitna", atau perang sipil islam pertama.
Bani Umayyah
Salah satu kelompok penentang ˤAlī
adalah kelompok yang dipimpin oleh Gubernur Syam waktu itu Muawiyah bin
Abu Sufyan, yang juga sepupu Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah
mengambil alih kekuasaan kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muˤāwiyya, pendiri Bani Umayyah. Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan turun-menurun.
Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia
dan Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah
dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen, dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan
pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara
sampai ke Spanyol. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran,
bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah
satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh
umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti
Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal dari klan Nabi Muhammad,
Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih sekeluarga dengan
Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul beberapa
pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir
kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk
meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para
pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata
pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan
keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad, bukan
keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya
terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.
Bani Abbasyiah
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga
abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan
ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada
tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab,
khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk
di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan
mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan
tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syi'ah dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad,
mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul
kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai
Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas
daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya
Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah
mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani
Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171.
Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim
di Spanyol, kemudian mereka mengkalim kembali gelar Khalifah pada tahun
929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Kekhalifahan "Bayangan"
Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan Kesultanan Mameluk.
Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para khalifah ini dibatasi
pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para sejarawan Muslim pada
masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai "khalifah bayangan".
Kekaisaran Usmaniyah
Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Usmaniyah,
para pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim
mereka ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan Mamluk
pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab. Khalifah
Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara dan dikirim ke
Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya
Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Menurut Barthold, saat dimana gelar Khalifah digunakan untuk
kepentingan politik daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya
adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan Rusia
pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah
berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran
kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi
tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I,
menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada
di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya
Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik oleh kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit
namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat.
Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status
kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa
yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim
di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada
Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa
lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang
paling besar dan paling kuat di dunia.
Keruntuhan kekhalifahan
Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan
terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya
perseteruan di antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
Setelah menguasai Istambul
pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik
dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan
paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat.
Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai
menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum
nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha
untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri
sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan
khilafah di Istambul dan pemerintahan
Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat,
Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan
Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan
pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan
Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan
membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam
berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan
Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha
sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis
ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan
kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang
dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu.
Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama
Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah
lemah dan digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan
beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II
terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan
langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik
politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik
ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah
kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya,
Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan
sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan
"Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan "Diyaniah"). Pada
tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan
sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal
inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1].
Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang
Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki
kantor pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang
berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk
semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah
merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki
kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah,
tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya
berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip
sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya
pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap
pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua
hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan
tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir
Mehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya
sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal.
Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan
pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim
yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan
tersebut.
Gerakan Khilafat
Pada tahun 1920-an "gerakan Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan
untuk mendirikan kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah
jajahan Inggris di Asia. Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat
itu menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah pertemuan kemudian diadakan di
Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian Kekhalifahan. Tapi
sayang, sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak berpartisipasi
dan mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari pertemuan ini.
Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai oleh Raja Maroko dan Mullah Mohammed Omar,
pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan Muslim di luar daerah
kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Organisasi yang mendekati
bentuk sebuah bentuk kekhalifahan saat ini adalah Organisasi Konferensi Islam
atau OKI, sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang
terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara
mayoritas Muslim.
Perbandingan kekhalifahan dengan sistem pemerintahan lain
Khalifah sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini:
- Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
- Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Argumentasi tentang Pentingnya Khalifah
Dalil al-Qur'an tentang Khalifah
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
- Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha,
berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu,
seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah
memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada.
Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang
keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara
yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri,
berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil
amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’,
sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya
hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau
tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram,
yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk
mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan
Allah SWT. Firman Allah SWT:
- Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
- Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab)
Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama
tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah
(Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula
bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah,
tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan
(as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang
diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian,
ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk
menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.
Dalil as-Sunnah tentang Khalifah
- Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
- Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
- Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
- Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
- Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar)
dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan
bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin.
Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai
menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan
seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li).
Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya
hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum
syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat
pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya
Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak,
membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah
adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai
begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah
akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan
bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam
(Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah
hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang
orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu."
[HR. Muslim].
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk
menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan
mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat
seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi
orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan
tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau
Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW
memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya,
iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan
Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.
Dalil Ijma’ Sahabat
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa
mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW
hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah,
nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan
jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah
pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu
kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan
pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah
dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah
Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih
mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan
jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan
kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama
menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam,
padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah
Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’)
mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada
menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status
hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada
menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah
bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering
muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan
diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat
sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika
wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing
Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang
jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib.
Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."[rujukan?]
Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala
aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan
sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang
Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi
Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa
menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas
seluruh kaum muslimin.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah
bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
- "Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah,
bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan
Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang
Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan
Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan
dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265
menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy
A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal
juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh
Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya
Imamah (Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan
haram apalagi bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah
Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang
menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush
Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah,
hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah,
Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil
I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi,
Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash
Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz
13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr.
Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul
Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As
Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil
Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad
Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Namun ada pula buku yang menyatakan bahwa kekhalifahan tidak wajib hukumnya, seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
Tags:
http://www.kabarislam.com/sejarah-islam/sejarah-ke-khalifahan-islam
0 komentar:
Posting Komentar